Kamis, 19 Juli 2018

Kopi Arabika di Hutan Pinus Wilayah Adat Marena Enrekang

Tanaman Kopi Arabika tumbuh subur pada ketinggian 800-1200 mdpl dan menghasilkan biji-biji kopi yang memiliki aroma tersendiri menyaingi kopi Tana toraja. Petani kopi enrekang di desa Pekaleboan kecamatan Anggeraja telah membudidyakan kopi sejak 3 generasi yang lalu, mereka telah paham secara teknis budidaya dan paska panen, di mana beberapa biji kopi yang kami temukan saat di sana telah dipetik merah, lalu digiling untuk mengeluarkan kulit luar, selanjutnya dipermentasi untuk menghasilkan aroma kopi khas pegunungan enrekang. selanjutnya biji-biji kopi di jemur dan masuk lagi dipenggilingan untuk menghasilkan green ben kopi yang siap sangrai.
Biji kopi petik Merah
Biji kopi yang telah siap sangrai di jual dengan harga yang bervariasi , biji kopi kualitas A di jual dengan harga Rp. 90.000 per kg, sedangkan asalan masih di jual dengan harga 50.000 rupiah per kg. pada tingkat petani, sedangkan pada tingkat pengumpul di enrekang di jual dengan harga antara 100.000 rupiah untuk kualitas Asalan  dan 150.000 per kg untuk kualitas A.
Dari penuturan petani kopi di hutan pinus wilayah adat marena, mengaku bahwa setiap tahun mereka bisa memanen kopi sebanyak 1.000 kg grenben per ha, sehingga jika di hitung dengan harga jual pada tingkat petani, mereka memperoleh pendapatan dari kebun Kopi sebesar antara Rp.50.000.000-Rp. 90.000.000 per tahun per ha.

Penjemuran biji kopi
Pendapatan petani kopi yang tinggi telah menginspirasi sebahagian besar masyarakat yang bermukim disekitar pegunungan desa pekaleboan, untuk terus mencari lahan di kaki gunung berbatu dan terjal hanya untuk ditanami kopi jenis arabika.
Bahkan dibawah bongkahan batu-batu besar pun masih ditemukan tanaman kopi yang ditanam oleh masyarakat di sana. Kegigihan petani kopi untuk terus membuka lahan tempat budidaya patut kita banggakan, namun juga patut prihatin, karena lahan-lahan yang mereka buka memiliki kemiringan 45 % bahkan 65 % masih di tanami kopi.
Pada daerah-daerah yang memiliki kemiringan di bawah  45 % mereka tanami bawang merah dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan  hidup sehari-hari, bahkan dari hasil tanaman bawang merah pun telah menambah pendapatan yang tidak sedikit dan hanya dalam waktu 56 hari mereka telah memanen tanaman bawang mereka.
Belajar dari pengalaman petani kopi di pegunungan enrekang, yang gigih ulet dan berani maka tidak ada salahnya petani-petani yang berada pulau sulawesi lainnya yang tinggal pada ketinggian 600 - 1000 mdpl untuk memulai membudidayakan berbagai jenis kopi terutama jenis kopi Arabika.
Semoga kopi yang berasal dari perkebunan rakyat, terutama kopi yang berasal dari wilayah hutan adat akan mampu bersaing di pasar dalam negeri dan internasional, sehingga masyarakat adat tidak lagi menjadi simbol kemiskinan, simbol tertinggal dan marginal untuk selalu diberdayakan. suatu saat nanti masyarakat adat akan menunjukan dirinya sebagai masyarakat adat yang maju dan berdaya saing.

Sekedar share, semoga bermanfaat....nttp://ekonomiberbagi.com/




1 komentar: