Senin, 02 Juli 2018

Dilema Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan hutan, melalui Program Perhutanan Sosial.

        Upaya pembangunan Hutan berbasis masyarakat yang bermukim disekitar, dan di dalam kawasan, hutan sampai saat ini masih mencari model dan cara yang tepat dan sesuai, baik pada program Hutan Kemasyarakatan maupun program Hutan Tanaman Rakyat ( periode 2007-2016 ). Pada periode 2016 - sekarang program pemberdayaan masyarakat di kawasan hutan negara telah disatupadukan pada P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial yang memuat 5 skema Perhutanan Sosial antara lain :
Hutan Kemasyarakatan ( HKm) ; Hutan Tanaman Rakyat (HTR) ; Hutan Desa ( HD ) ; Hutan Adat (HA) dan Hutan kemitraan (HK).
P.83 tentang Perhutanan Sosial, telah mengatur sedemikian rupa yang memudahkan bagi kelompok masyarakat, LSM dan Pemerintah Desa, serta masyarakat Adat untuk mengakses kawasan hutan yang ada di sekitar tempat mukim mereka untuk di kelola, dimanfaatkan bahkan hasil produksinya dapat dijadikan komoditi bernilai ekonomi dan akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang terlibat di dalam pengelolaan dan atau pemanfaatan kawasan hutan yang telah diterbitkan SKnya.
Prosedur perijinannya pun makin dimudahkan bahkan ada istilah Jemput bola dari Pokja PS dari tiap-tiap Provinsi, seyogyanya kemudahan-kemudahan ini akan memicu minat masyarakat yang telah hidup dan berkembang di sekitar kawasan hutan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Namun fakta yang ada masih banyak kelompok masyarakat yang merasa curiga dengan niat baik pemerintah dalam memberi akses kelola pada kawasan hutan yang ada. Ada pula masyarakat yang mau masuk dalam program Perhutanan Sosial dengan niat dan rencana untuk mengalihkan hak kelolanya pada saat mereka telah mengetahui areal kelola mereka, dan ada pula yang serius untuk bergabung pada Program PS karena ingin menanam tanaman Perkebunan seperti cengkeh, pala dan kakao serta karet.
Sementara Perhutanan Sosial telah memberi batasan yang jelas sebagaimana pada pasal-pasal di P.83 tentang Perhutanan Sosial yang notabene memberi kemudahan bagi pengelolanya untuk peningkatan pendapatan mereka.
Sayangnya batasan-batasan jenis tanaman kehutanan dan perkebunan di dalam P.83 tidak secara detail menjelaskan batasan atau porsentase tanaman per Ha per hak kelola, ditambah lagi di P.83, tidak mengijinkan pembukaan lahan pada kawasan hutan produksi, apalagi pada kawasan hutan Produksi terbatas dan kawasan hutan Lindung. Yang dibolehkan hanyalah menjaga, menambah jumlah dan jenis tanaman hutan dan tanaman buah dan atau tanaman yang tergolong Mpts, sementara untuk jenis tanaman kehutanan dan tanaman buah dan atau Mpts pada masa-masa pertumbuhan membutuhkan sinar matahari, yang berarti lahan harus bersih sebelum penanaman atau pengkayaan tanaman.
Namun pada kawasan hutan yang telah dirambah dan dikuasai serta telah menjadi kebun masyarakat dengan tanaman perkebunan hanya dianjurkan untuk menambah tanaman kehutanan ala kadarnya, dan tidaklah mungkin mereka akan menanaminya, karena pasti tanaman-tanaman mereka yang telah berproduksi telah membentuk hutan  sehingga tanaman baru yang akan ditanam dibawah tanaman perkebunan tidak akan tumbuh dengan baik, kecuali dilakukan pemangkasan atau penjarangan tanaman. Ini menjadi dilematis bagi para pendamping di Perhutanan Sosial, seperti di kabupaten kolaka yang notabene kawasan hutan produksi, hutan lindung dan konservasi telah dijadikan kebun cengkeh, pala dan kakao, bahkan Karet.
Pasal-pasal penjabaran di P.83 tidaklah mungkin diterapkan di kabupaten Kolaka, bahkan di Konawe Selatanpu demikian adanya. kalaupun diterapkan maka konflik antara masyarakat dan pendamping pasti terjadi.
Di Konawe selatan Program Perhutanan Sosial sebenarnya tinggal melanjutkan program HTR dan HKm yang telah lama diterbitkan SKnya oleh pemerintah Kabupaten Konawe Selatan, KPHP-Gularaya telah diuntungkan beberapa langkah maju di banding KPH-KPH lainnya yang baru memulai proses perijinannya.
Di Konawe Selatan skema HTR memiliki luas Lk 4.639,95 Ha dan telah diterbitkan SKnya sejak tahun 2009 lalu, hampir kurang lebih 9 tahun atau hampir satu periode RKU. HTR ini telah memiliki areal demplot seluas 20 Ha, dan telah ada penyerahan hak kelola kepada masyarakat seluas 1018 persil areal dengan masing-masing setiap persil seluas 1 Ha pada periode tahun 2014-2015. di tambah lagi pada tahun 2017 melalui Kerjasama Indonesia Amerika ( MCA-Indonesia ) telah menambah luas areal Lk 1.000-an Ha, bahkan telah ditanami dengan tanaman Sengon dan kaliandra melalui udara ( Benih di hambur dengan menggunakan Helikopter).
Namun keseriusan masyarakat yang terlibat pada skema HTR melalui KHJL belum dapat di andalkan bahkan sampai saat ini tanaman hasil budidaya pada areal kelola di program HTR belum ada informasinya. Yang selalu menjadi bahan promosi bagi KHJL dan KPHP Gularaya selalu yang ditunjukan adalah lokasi areal Demplot yang telah di bangun pada tahun 2014-2015, itupun tidaklah dirawat sesuai standar pengelolaan Hutan.
Untuk itu, perlu ada terobosan cara pendampingan dan pemberdayaan dari para pihak, baik KPHP Gularaya, KHJL maupun para Pendamping KHJL/HTR, menemukan cara baru yang mampu memotivasi partisipasi masyarakat untuk lebih giat membangun hutannya melalui skema HTR, memang selalu akan ada pro kontra dari para pihak, namun ketika ada satu wilayah atau kelompok yang didamping dengan cara baru dan berhasil maka masyarakat lainnya yang ada di program HTR pasti akan bahu-membahu mengelola hak kelola mereka dengan serius.
Ketidakseriusan masyarakat peserta HTR, mungkin saja kesalahan awal saat perekrutan anggota, ada anggota yang sudah berumur 60 tahun keatas, ada pula peserta HTR yang memiliki lahan milik lebih luas dari areal kelola HTRnya, bahkan ada peserta HTR yang berstatus PNS yang pasti akan menomorduakan areal kelolanya daripada tugas-tugas sebagai PNS.akan tetapi dari banyak diskusi dengan masyarakat peserta HTR, ketiadaan akses jalan menuju areal kelolanya juga menjadi penghambat proses pengolahan lahan kelolanya. akan tetapi ada pula yang memang beralasan ketiadaan modal kerja di areal kerja HTR, padahal pada awal-awal pendistribusian hak kelola, masih banyak tanaman Jati yang salah tanam di areal kerja HTR, dan itu mungkin saja dapat dikelola dan dijadikan modal awal pembukaan lahan. Namun lagi-lagi ada statemen dari Dinas kehutanan dan KPHP bahwa untuk areal yang terdapat tanaman Jati tidaklah boleh di olah itu harus dihitung asset pemerintah, dengan alasan bahwa yang menanam adalah pemerintah melalui dinas kehutanan Sultra dan Konsel.
Kondisi ini memberi ruang bagi sekelompok masyarakat yang ada untuk bersama-sama memanfaatkan kayu jati diareal HTR tersebut untuk diperjualbelikan kepada para pemilik industri Sawmill yang ada di sekitar kawasan hutan. di perparah lagi dengan peran penting para Penerbit dokumen dari Instansi terkait, apalagi penerbit dokumen di Industri yang tidak pernah mengecek asal usul kayu olahan, dan berakhir sudah asset negara di areal hutan tanaman rakyat (HTR-KHJL).
 
Saat ini 2018, areal hutan tanaman rakyat yang ada dibeberapa kecamatan seperti kecamatan Palangga terdapat Desa yang berada di dalam areal HTR (Desa Alakaya), areal HTR telah dipenuhi tanaman cengkeh, kakao dan bahkan di hulu sungai Aosole yang seharusnya menjadi kawasan hutan penyanggah telah dijadikan kebun oleh masyarakat pendatang, yang menurut pengakuan mereka lahan-lahan tersebut di peroleh dengan cara membeli dari warga stempat.
Di Kaindi, nampak jelas jika kita berada di jalur poros pamandati-Lainea di bahagian utara terdapat bukaan kawasan hutan yang cukup luas, untuk dijadikan kebun oleh masyarakat, baik penduduk lokal maupun penduduk pendatang, padahal di kawasan tersebut terdapat sumber air panas sebagai potensi wisata bagi masyarakat dan kawasan tersebut masuk dalam areal IUPHHK-HTR KHJL.
Sayangnya pemilik IUPHHK-HTR dan Pihak terkait yang ada masih enggan melakukan penertiban terhadap masyarakat yang sewenang-wenang membuka kawasan hutan menjadi kebun, yang nantinya dapat saja mereka perjual-belikan padahal kawasan tersebut merupakan kawasan hutan yang telah memiliki Ijin.
sementara aturan pengelolaan HTR jelas tidak dapat diperjual-belikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain selama 60 tahun.
Mungkinkah aturan yang tercantum dalam P.83 masih dapat di revisi oleh pemerintah agar pelaksanaan program Perhutanan Sosial nantinya tidak melanggar Undang-undang, apalagi masyarakat yang tergabung dalam skema HTR tidak di anggap melanggar undang-undang, bisa saja masyarakat di penjarakan jika memang pemerintah tegas dan menegakan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Salam, sekedar share semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar