Sabtu, 24 November 2018

Benarkah program perhutanan Sosial telah memberdayakan masyarakat sekitar Hutan ???



Program Perhutanan Sosial
 
Kawasan Hutan Jati di Gunung Kolono
Sejak terbitnya Permenhut Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang berupaya mengayomi 5 skema PS ( HD,HKm,HTR, HK dan HA ) banyak pihak sangat berharap bahwa Permenhut ini menjadi titik awal bagi keberdayaan Masyarakat sekitar dan di dalam kawasan Hutan Negara, tidak terkecuali bagi masyarakat hukum Adat yang notabene telah banyak menjadi penyelamat Hutan di Indonesia.

Dalam upaya percepatan pembangunan Perhutanan Sosial di Indonesia, maka pemerintah melalui Kemen LHK tidaklah tanggung-tanggung menggelontorkan beberapa kebijakan dalam bentuk Perdirjen seperti perdirjen No 16 tentang Pedoman  penyusunan rencana pengelolaan Hutan Desa, RKU-IUPHKm,RKU-IUPHHK-HTR bagi para pemegang Ijin.

Akan tetapi bagi Masyarakat Hukum Adat masih harus berupaya memperoleh pengakuan wilayah hutan adat kepada pemerintah Kabupaten di mana mereka berada, di mana pemerintah kabupaten terlebih dahulu harus menerbitkan PERDA pengakuan masyarakat Adat yang ada di wilayah kabupaten / Kota. Setelah itu mereka pun harus berjuang meyakinkan pemerintah bahwa wilayah hutan yang di ajukan merupakan wilayah Hukum Adat mereka.

Oleh karenanya, di papua dan Papua barat misalnya masih ada upaya Masyarakat Adat mengajukan ijin kelola dengan skema Hutan Desa dan HTR,padahal dalam benak masyarakat Papua dan Papua barat tidak ada hutan negara di wilayah papua, yang ada adalah tanah marga, atau wilayah hukum adat. sedangkan Hutan Desa dan HTR justru masyarakatlah yang meminjam ke Negara, di mana skema ini hanya menekankan  ijin kelola selama periode tertentu saja, ini merupakan kondisi dilematis bagi masyarakat hukum adat dalam upaya menata wilayah hutan adat mereka.

Nah dalam konteks pengelolaan IUP, para pemegang IUP harus patuh pada rambu-rambu rencana pengelolaan, Rencana Kerja Umum yang telah mereka susun "  Kebanyakan disusunkan " oleh para pendamping, atau yang mengaku pendamping, hingga akhirnya hampir 90 % para pemegang Ijin melanggar apa yang seharusnya menjadi acuan mereka.

Sementara itu klaim keberhasilan para pemegang Ijin telah digembar-gemborkan di hampir semua ruang-ruang diskusi, workshop dan lokakarya oleh para pemerhati, para pegiat PS, bahkan Kementerian LHK sendiri sebagai pemegang Kuasa PS, di balik semua itu pada tingkat Tapak Masyarakat pemegang Ijin masih bertanya-tanya " tentang kelanjutan IUP yang telah mereka peroleh.

Ada yang bingung karena akses ke lokasi areal ijin mereka, hampir tidak dapat dilalui bahkan dengan jalan kaki sekalipun, ada yang bingung karena Lokasi yang di ijinkan telah di kuasai oleh para perambah dan telah tumbuh tanaman di atas areal ijin mereka. Namun ada pula yang dengan senang hati berupaya mengalihkan areal mereka kepada pihak lain dengan cara Ganti rugi alias menjual lahan atau areal kelola mereka kepada pihak lain, baik perorangan maupun Perusahaan.

Namun ada pula yang telah lama hidup dan berkembang di kawasan hutan sekian puluh tahun yang lalu sampai saat terbitnya P.83, dan memaksa mereka mengikuti aturan yang tertuang dalam P.83, bahkan bagi mereka P.83 merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup mereka.

Desakan Percepatan

Selain dasar hukum Perhutanan Sosial, pemerintahpun melihat bahwa untuk percepatan PS, maka di butuhkan " Kelompok Kerja (POKJA PPS )" di tiap-tiap propinsi untuk membantu percepatan akses Ijin bagi para pengusul ( masyarakat sekitar Hutan ). Pokja bahkan di harapkan " Jemput Bola " di kampung-kampung atau di desa-Desa yang masih memiliki kawasan Hutan " bahkan ada kesan pemaksaan bagi kelompok masyarakat untuk membuat kelompok "Dadakan" dari personil oknum Pokja dalam kejar-kejaran target Luasan areal Ijin skema PS.

Seringkali masyarakat di iming-iming bantuan Modal usaha jika mereka " Pura-pura serius " mengajukan Ijin PS dengan catatan harus melalui POKJA, dan bahkan harus melalui oknum tertentu yang datang berkunjung di Desa atau kampung mereka.

Fakta dan Realitas Lapangan

Bagi sebahagian masyarakat pengusul Ijin skema PS, menganggap sebagai kemurahan hati dari pemerintah untuk memberikan ruang hidup bagi mereka, namun sebahagian lagi menganggap sebagai tambahan beban bagi mereka, dimana mereka harus selalu hadir dalam pertemuan-pertemuan yang di gagas oleh para pegiat atau pendamping.

Mereka datang dipertemuan bahkan dengan sangat serius mendengarkan penyampaian-penyampaian dari para pembicara (Tim Sosialisasi ), mereka pun ikut tertawa, ikut tepuk tangan bahkan manggut-manggut pertanda seperti memahami apa yang disampaikan para pembicara di hadapan mereka. Mereka berlomba menandatangani daftar hadir peserta dengan harapan di akhir acara akan ada pengganti transport sekalipun rumah mereka mungkin hanya 10 langkah dari tempat Pertemuan.

Namun setelah acara pertemuan di tutup mereka saling bisik-bisik " Mana Amplopnya " jika ada maka mereka akan berupaya mengingat apa yang disampaikan oleh para pembicara PS, mereka menirukan apa yang disampaikan oleh para pemateri tadi, bahkan dengan sangat semangat berupaya menjabat tangan Tim hanya untuk sekedar memberi kesan serius untuk mengurus Ijin PS.

Para Pemateri pun Merasakan suasana seperti apa yang mereka harapkan sebelum pertemuan " Bahwa Masyarakat " sangat antusias dan peduli terhadap penyelamatan Hutan melalui Program Perhutanan Sosial.

Namun harapan itu tinggal harapan justru setelah pertemuan bubar biasanya akan ada diskusi-diskusi kecil di lingkup masyarakat yang hadir dalam pertemuan " mereka bahkan menertawakan pengakuan mereka di hadapan para Pemateri " Mengaku Serius ".....

Areal IJin PS yang telah Berhasil dalam peningkatan pendapatan

Hampir semua acara Workshop yang membahas PS sejak 2016-2018, hanya mampu menunjukan angka-angka jumlah Ijin dan luasan areal yang telah di terbitkan SK IUPnya, beberapa pihak memunculkan keberhasilan HKm masa lalu yang dilematis karena kayu hasil tanamannya tidak dapat di manfaatkan oleh masyarakat yang berujung pada upaya penjarahan oleh masyarakat pemegang Ijin itu sendiri.

Akan tetapi seringkali ada klaim Keberhasilan PS dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, namun ketika muncul pertanyaan dari peserta " Lokasi yang dimaksud " ternyata hampir tidak dapat di temukan di bumi Nusantara ini, namun sering di jawab dengan jawaban Politis " dengan proyeksi 5 tahun mendatang jika Rezim tidak berubah ".

Pertemuan Berkelanjutan

Program Perhutanan Sosial, memaksa para pihak untuk kembali mengulang pertemuan lagi secara berkelanjutan  di tempat yang sama dengan tema yang beda namun Isi tetaplah Sama dengan bumbu-bumbu manis dari para pemateri ' biasanya muncul Cerita sukses Pengelolaan PS dari tempat lain yang belumlah tentu peserta memahami Lokasi PS yang disampaikan pemateri.

Para peserta pun yang hadir selalu yang itu-itu saja, hadir sejak awal maka pasti hadir pada pertemuan selanjutnya, mereka terlanjur merasakan " isi Amplop " dari setiap pertemuan. Akan tetapi jika pertemuan itu tidak disediakan biaya transport, maka pasti pertemuan berikutnya pastilah muka-muka baru yang biasanya di mobilisasi oleh para pendamping di wilayah itu, dengan sedikit bumbu-bumbu manis harapan masa depan.

Kita tidak dapat pungkiri bahwa memang ada segelintir orang yang serius dan peduli, namun mereka biasanya Kritis dan banyak bertanya kepada para pemateri dan ini biasanya di anggap sebagai penghambat program, orang-orang kritis seperti ini biasanya tidak diharapkan kehadirannya di pertemuan berikutnya.

Para pegiat dan pemateri lebih suka dengan peserta yang adem-adem saja, datang tanpa komentar sampai pertemuan bubar.....

Inilah sekelumit realitas Implementasi PS pada tingkat Tapak...

" Belajar dari Masa Lalu untuk Merencanakan Masa Depan " bagi masyarakat sekitar kawasan Hutan.....




Dampak Isu PS yang salah Kapra, kawasan hutan Jati di babat habis...
http://ekonomiberbagi.com//

Tidak ada komentar:

Posting Komentar