Minggu, 25 November 2018

MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN SOSIAL INKLUSI DI KOMUNITAS DAMPINGAN

 5 langkah upaya implementasi fasilitasi kesetaraan Gender dan Sosial inklusi (Gesi) 
 
Partnership building
 
Seringkali para pendamping atau fasilitator di dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat menapikan upaya membangun pertemanan dengan masyarakat di wilayah dampingannya, hal ini di anggap biasa-biasa saja karena banyak yang memahami bahwa masyarakat kampung atau pedesaan merupakan orang yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman olehnya itu mereka harus diajar dengan pengetahuan baru yang dimiliki para pendamping dan atau fasilitator terkait program yang mereka bawah di kampung dampingannya.
 
Partnership building, sebaiknya dilakukan sejak awal kunjungan para pendamping atau fasilitator untuk berupaya memahami isu atau masalah yang terdapat di wilayah yang akan di dampingi atau di fasilitasi, paling tidak seorang pendamping akan mengetahui fakta dan realitas di sebuah komunitas terkait klasifikasi kegiatan masyarakat yang melibatkan perempuan, kaum marginal dan kaum rentan.

Terkadang kita kesulitan memilah dan mengklasifikasikan kelompok marginal dan rentan jika hanya mendengar informasi secara sepihak atau berdasarkan data sosial yang dimiliki oleh pemerintah kampung dan atau pemerintah Desa, apalagi jika mayoritas masyarakatnya secara umum berada pada kondisi hampir merata, baik dari segi ekonomi maupun status sosial.

Oleh karenanya sebelum datang ke kampung atau desa sebaiknya, kita telah memiliki informasi awal tentang kampung atau desa yang akan kita datangi, selanjutnya lakukan Observasi potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di kampung lokasi intervensi program, biasanya kita akan melihat kesenjangan aktifitas antara kaum perempuan, kaum marjinal dan kelompok rentan dengan kaum laki-laki.

Selanjutnya dari hasil observasi awal dilakukan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat, kelompok perempuan dan kelompok rentan, lakukan umpan balik dari hasil temuan saat Observasi lapangan kepada para pihak yang di ajak diskusi.

Seringkali saat memulai diskusi dan atau tanya jawab kita kesulitan memulai dari mana, maka sebaiknya penting untuk di pahami Pintu masuk " Entry point " untuk memulai diskusi yang cair, dan menarik bagi masyarakat yang diajak diskusi, dan dalam diskusi atau tanya jawab sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak dan bahkan orang tua yang berumur 70 tahun sekali pun.

Jika komunikasi dengan masyarakat dampingan telah cair dan akrab seperti teman, tanpa ada rasa canggung lagi maka mulailah fasilitasi Analisa Isu bersama masyarakat terkait peran antara perempuan dan laki-laki, kaum marginal dan kelompok rentan di kampung dampingan kita.

Analisis Isu berbasi masyarakat  ( Community Base Issue Analysis )
 
Dalam menganalisis isu  atau masalah di masyarakat terdapat banyak alat analisis seperti PRA, RRA namun kita tidaklah perlu menyampaikan alat ini kepada masyarakat, cukuplah sebagai pendamping memotivasi masyarakat untuk mengenal dan mengetahui potensi sumberdaya yang ada di kampung tersebut, terlebih lagi potensi sumberdaya manusianya yang bermukim di kampung atau Desa.
Sebagai pendamping atau Fasilitator sebaiknya mengetahui sejarah kampung yang didampingi, sejak kapan mereka mulai bermukim, siapa saja yang pertama kali tinggal di kampung tersebut, siapa saja pemilik ulayat di kampung itu. Saat kita mulai melakukan analisis atau penguraian, motivasi warga dampingan untuk mengingat kembali  apa saja penyebab kurangnya keterlibatan perempuan dan kaum rentan dalam partisipasi kegiatan pembangunan di kampung tersebut.
 
Terkadang dalam kegiatan fasilitasi di masyarakat, banyak kita jumpai mereka sulit dan enggan mengemukaan pendapat, maka sebaiknya tugas kita adalah bertanya dan bertanya dengan bahasa yang mudah di pahami oleh mereka, pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti Apa, kapan, di mana dan berapa akan memunculkan jawaban fakta terkait kesetaraan gender dan sosial inklusi.
 
Setelah dilakukan analisis isu atau masalah terkait kesetaraan Gender dan Sosial inklusi, maka langkah selanjutnya memfasilitasi masyarakat untuk membuat Rencana Aksi.
 
Rencana Aksi ( Action Plan )
 
Bangunan rencana aksi merupakan solusi dari masalah yang barusan di analisis pada Analisa masalah tersebut di atas, akan tetapi di buat sesederhana mungkin tanpa menghilangkan esensi sebuah rencana aksi masyarakat dalam upaya mengatasi masalah yang ada di kampung mereka, penggunaan kekuatan lokal kampung menjadi sangat penting untuk keluar dari masalah yang mereka hadapi.

Sebaiknya dalam penyusunan rencana Aksi paling tidak memuat Harapan (Tujuan/ Goal), apa yang akan dilakukan (aktifitas ) Siapa melakukan apa (Peran), Cara melakukan (Strategi), Lama pelaksanaan (waktu), Jumlah biaya (Anggaran) dan Sumber dana.

Dari rencana aksi masyarakat tersebut jika peran dan pelaku telah di sepakati dan ditetapkan maka tahapan selanjutnya adalah Implementasi-Monitoring

Implementasi-Monitoring
 
Sebuah rencana tanpa implementasi tidak akan menghasilkan apapun, demikian pula Implementasi tanpa rencana merupakan kesia-siaan. Olehnya itu peran kita sebagai pendamping atau fasilitator adalah mendorong dan memotivasi masyarakat dampingan untuk melakukan Implementasi Rencana Aksi yang telah di susun bersama.
 
Dalam kegiatan Implementasi rencana aksi, maka saat bersamaan harus dilakukan Monitoring pelaksanaan agar tidak keluar dari rencana awal. untuk menghindari kesalahan pelaksanaan rencana aksi maka rencana aksi monitoring pun disusun bersama masyarakat sebagai panduan pelaksanaan monitoring kegiatan rencana aksi masyarakat.
 
Setiap tahapan monitoring jika ada indikasi kesalahan alur pelaksanaan maka tim monitoring akan langsung melakukan saran perbaikan agar tidak keluar dari tujuan awal, atau recovery pada titik di mana alur pelaksaan mulai keluar rel rencana aksi.
 
Evaluasi dan Umpan balik
 
Kegiatan Evaluasi dan umpan balik merupakan  tahapan kelima dari siklus pemberdayaan mikro pada sebuah komunitas, di mana kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan kegiatan dilaksanakan di wilayah dampingan, Umpan balik juga merupakan upaya untuk meminta masukan dari para pihak terutama dari masyarakat dampingan dalam pelaksanaan sebuah program kesetaraan Gender dan Sosial inklusi, ataupun kegiatan lainnya sehingga pada masa yang akan datang di kampung tersebut tidak lagi mengulang kesalahan dalam hal kesetaraan dan hal lainnya.
 
5 tahapan siklus pemberdayaan mikro ini,  merupakan alur proses fasilitasi  yang dapat di gunakan oleh para pendamping atau Fasilitator dalam rangka meminimalisir kesalahan-kesalahan fasilitasi dalam rangka menciptakan CO-CO baru dikampung yang kita dampingi.

Juga berguna bagi fasilitator dalam mengungkap realitas lapangan di manapun dia berada dan kapanpun melakukan pendampingan. ada banyak alat-alat yang sedang dikembangkan oleh para ahli pemberdayaan namun berdasarkan pengalaman selama ini, tahapan ini mudah dilakukan di manapun pada level manapun.

Salam, sekelumit pengalaman dalam proses pendampingan masyarakat/ komunitas....

Sekedar share.....



Mendorong terwujudnya Kampung Model Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Tambrauw-Papua Barat

Potensi Sumberdaya ( Resources)

Potensi kelapa kampung Hopmare
http://ekonomiberbagi.com/

Memasuki distrik Sausapor Kabupaten Tambrauw, nampak pepohonan Nyiur melambai menghiasi kiri kanan jalan yang kami lalui dengan menumpang kendaraan Triton double cabin yang akan mengantar kami sampai di Kampung Hopmare Distrik Kwoor yang masih termasuk wilayah Kabupaten Tambrauw.

Beberapa tunggak kelapa sisa tebangan masih dapat kita Jumpai di kompleks perumahan dan perkantoran sementara kabupaten Tambrauw di distrik Sausapor, menandakan bahwa areal ini merupakan kebun-kebun Kelapa milik masyarakat yang telah lebih dahulu mendiami Sausapor, di tengah jalan perempatan dekat lapangan bola terdapat Tugu kecil setinggi 3 meter dengan embel-embel perjuangan.

Karena penasaran saya mencoba menanyakan pada beberapa orang masyarakat di sana perihal Tugu tersebut. salah seorang kawan dari Tim Perkumpulan Marwasnath menjelaskan bahwa Tugu tersebut " Menandakan Peringatan Perang antara TNI dan OPM pada tahun 63- 70 an dan juga menandakan Bergabungnya Personil OPM wilayah Tambrauw ke dalam kesatuan TNI.

Dari distrik Sausapor, menuju distrik Kwoor kita menjumpai kampung Werur di pesisir pantai dan di sana kita akan jumpai Bandara Udara yang melayani pesawat-pesawat kecil seperti Susi Air bermuatan 30 penumpang, di sanapun masih dapat kita jumpai pepohonan Kelapa dan tunggak kelapa bekas-bekas tebangan  untuk di peruntukan sebagai daerah pemukiman penduduk.

Selanjutnya, memasuki kampung Werbes ( Werur Besar ) di kiri kanan jalan terdapat hamparan kebun-kebun kelapa, dan kebun pisang yang mendominasi pemandangan di kiri kanan jalan menuju kampung Hopmare. beberapa pohon Kakao dan Aren dapat kita lihat tumbuh secara sporadis sepertinya tanpa perawatan, hanya beberapa pohon Aren yang sedang di rawat namun nampak wadah Jerigen dan bambu besar menggantung di setiap tangkai buah Aren.

Jerigen dan bambu tersebut merupakan wadah penampungan Air Enau oleh pemilik Aren, ada yang manis dan ada pula yang berasa seperti minuman beralkohol seperti Tuak. Air hasil sadapan tersebut ada yang digunakan sendiri namun ada pula yang di jual kepada yang membutuhkan untuk di gunakan sebagai minuman pengganti minuman bermerk CT ( Cap tikus ) kiriman dari Manado.

Setelah melewati Werbes, kita menjumpai kampung Esmambo sebagai kampung pemekaran dari kampung Hopmare, kampung Esmabo ini kira-kira di huni kurang lebih 35 KK dengan model rumah yang sama. hal itu menandakan bahwa rumah-rumah tersebut merupakan bangunan yang di bangun oleh pemerintah melalui dana kampung, dana Sosial dan dana Perumahan dari instansi terkait kabupaten Tambrauw.

Selanjutnya dari kampung Esmambo, kita memasuki kampung Hopmare dengan pemandangan hamparan Kebun-kebun Kelapa yang cukup luas, bahkan jika kita berada pada daerah yang lebih tinggi akan kelihatan kebun-kebun kelapa seperti perkebunan besar yang di kelola oleh perusahaan.sesekali kita melihat pohon kakao serta pisang yang tumbuh tidak beraturan, namun jika dibandingkan dengan kampung lain maka kampung Hopmare memiliki potensi kelapa kurang lebih 15.000 pohon dengan rata-rata pohon memiliki buah sebanyak 65 buah yang dapat di panen dalam 2 kali setahun.

Potensi buah kelapa yang dapat di panen dalam setahun lebih kurang 975.000 buah kelapa, atau setara dengan 175 ton Kopra asap dan putih, dan jika harga jual kopra di Hopmare Rp3.000 per kg maka uang yang beredar di kampung Hopmare berkisar Rp585.000.000 per tahun. atau jika memproduksi VCO 25 % dari total produksi buah kelapa maka produk VCO di kampung Hopmare akan ada lebih kurang 4.875 Liter dan jika harga VCO di Tambrauw dan Sorong di kisaran Rp60.000 per liter maka nilai jual VCO sebesar Rp292.500.000 per tahun.

Organisasi pengelola
Pembentukan Organisasi Usaha
Salah satu strategi untuk meningkatkan produksi kopra dan produksi VCO adalah pengelola atau organisasinya, di mana setiap organisasi pengelola akan ada manajemen usaha yang akan melakukan produksi secara berkelanjutan dengan standar mutu produksi yang dapat di terima pasar.

Di kampung Hopmare telah mulai dilakukan pengorganisasi usaha melalui pembentukan Koperasi Ye,Iwa Hopmare dengan harapan bahwa akan ada pengelola sumberdaya Kelapa di kampung Hopmare secara berkelanjutan sesuai standar produksi lestari.

Norma atau Aturan 

Secara umum sebuah organisasi dapat mengelola sumberdaya jika memiliki aturan atau norma yang sesuai undang-undang yang berlaku, dan aturan yang di buat dalam internal organisasi dalam bentuk Anggaran Dasar dan anggaran rumah tangga organisasi atau koperasi, aturan internal merupakan aturan dasar yang menjadi kesepakatan organisasi dan atau perusahaan pengelola.

Tanpa aturan atau norma yang jelas dan di patuhi bersama maka pengelola sumberdaya tidak akan dapat menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk menjadi sebuah usaha yang mampu meningkatkan pendapatan mereka atau masyarakat Hopmare.

Dengan demikian sebesar apapun potensi yang dimiliki sebuah kampung atau daerah jika Organisasi pengelola tidak ada dan kalau pun ada jika tidak memiliki aturan atau norma yang mengatur tata cara pengelolaan maka adalah sebuah keniscayaan untuk mewujudkan kemadirian masyarakat. demikian pula jika sekuat apapun organisasi menerapkan Norma atau aturan jika tidak memiliki Sumberdaya maka mustahil mewujudkan organisasi yang kuat di tingkat kampung atau pun disuatu wilayah.

Olehnya itu R-O-N (Resources-Organisasi-Norma ) harus dapat terkelola dengan baik secara bersamaan, berkelanjutan sesuai dengan Norma yang telah ada, di patuhi dan konsisten di implementasikan.

Sekedar share...semoga bermanfaat....

Sabtu, 24 November 2018

Indahnya Pantai Senggigi Lombok NTB di Sore Hari

Pantai Senggigi NTB
Sore Hari di Pantai Senggigi NTB

Bulan Oktober 2017, saya dan beberapa kawan dari Sulawesi Tenggara berkunjung di Lombok-NTB, dalam rangka koordinasi antar lembaga yang menangani program pemberdayaan masyarakat sekitar Hutan di dua Provinsi NTB dan Sultra.

Di sela-sela kegiatan koordinasi, kami sempat mengunjungi pantai Senggigi sebagai salah satu Pantai yang banyak di kunjungi wisatawan dalam negeri maupun wisatawan Asing, saat kami berkunjung tepat pukul 17.30 waktu setempat, di mana sesaat lagi matahari akan tenggelam di ufuk barat.

Pantai Senggigi yang terkenal indah dan menawan bagi para wisatawan memiliki pasir putih yang bersih dengan hempasan gelombang laut menambah suasana romantis bagi para pelancong, apalagi bagi mereka yang datang dengan membawa pasangan masing-masing.

Dari segi akses , pantai Senggigi dapat di tempuh dari Kota Lombok dengan menggunakan kendaraan roda empat dalam waktu kurang lebih 1 jam atau kira-kira berjarak 60 Km dari kota Lombok. Keindahan pantai senggigi telah menarik wisatawan manca negara yang berkunjung ke Bali, untuk meneruskan perjalanan mereka ke pantai ini.

Kedekatan wilayah antara bali dan Lombok, maka para turis pun mulai banyak berkunjung ke Lombok NTB, sekaligus menjadi tujuan wisata kedua setelah Bali. dan saat kami di sana banyak turis Asing yang kami temukan sedang berjemur di pantai Senggigi tanpa busana.....ngeri-ngeri sedap...


Benarkah program perhutanan Sosial telah memberdayakan masyarakat sekitar Hutan ???



Program Perhutanan Sosial
 
Kawasan Hutan Jati di Gunung Kolono
Sejak terbitnya Permenhut Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang berupaya mengayomi 5 skema PS ( HD,HKm,HTR, HK dan HA ) banyak pihak sangat berharap bahwa Permenhut ini menjadi titik awal bagi keberdayaan Masyarakat sekitar dan di dalam kawasan Hutan Negara, tidak terkecuali bagi masyarakat hukum Adat yang notabene telah banyak menjadi penyelamat Hutan di Indonesia.

Dalam upaya percepatan pembangunan Perhutanan Sosial di Indonesia, maka pemerintah melalui Kemen LHK tidaklah tanggung-tanggung menggelontorkan beberapa kebijakan dalam bentuk Perdirjen seperti perdirjen No 16 tentang Pedoman  penyusunan rencana pengelolaan Hutan Desa, RKU-IUPHKm,RKU-IUPHHK-HTR bagi para pemegang Ijin.

Akan tetapi bagi Masyarakat Hukum Adat masih harus berupaya memperoleh pengakuan wilayah hutan adat kepada pemerintah Kabupaten di mana mereka berada, di mana pemerintah kabupaten terlebih dahulu harus menerbitkan PERDA pengakuan masyarakat Adat yang ada di wilayah kabupaten / Kota. Setelah itu mereka pun harus berjuang meyakinkan pemerintah bahwa wilayah hutan yang di ajukan merupakan wilayah Hukum Adat mereka.

Oleh karenanya, di papua dan Papua barat misalnya masih ada upaya Masyarakat Adat mengajukan ijin kelola dengan skema Hutan Desa dan HTR,padahal dalam benak masyarakat Papua dan Papua barat tidak ada hutan negara di wilayah papua, yang ada adalah tanah marga, atau wilayah hukum adat. sedangkan Hutan Desa dan HTR justru masyarakatlah yang meminjam ke Negara, di mana skema ini hanya menekankan  ijin kelola selama periode tertentu saja, ini merupakan kondisi dilematis bagi masyarakat hukum adat dalam upaya menata wilayah hutan adat mereka.

Nah dalam konteks pengelolaan IUP, para pemegang IUP harus patuh pada rambu-rambu rencana pengelolaan, Rencana Kerja Umum yang telah mereka susun "  Kebanyakan disusunkan " oleh para pendamping, atau yang mengaku pendamping, hingga akhirnya hampir 90 % para pemegang Ijin melanggar apa yang seharusnya menjadi acuan mereka.

Sementara itu klaim keberhasilan para pemegang Ijin telah digembar-gemborkan di hampir semua ruang-ruang diskusi, workshop dan lokakarya oleh para pemerhati, para pegiat PS, bahkan Kementerian LHK sendiri sebagai pemegang Kuasa PS, di balik semua itu pada tingkat Tapak Masyarakat pemegang Ijin masih bertanya-tanya " tentang kelanjutan IUP yang telah mereka peroleh.

Ada yang bingung karena akses ke lokasi areal ijin mereka, hampir tidak dapat dilalui bahkan dengan jalan kaki sekalipun, ada yang bingung karena Lokasi yang di ijinkan telah di kuasai oleh para perambah dan telah tumbuh tanaman di atas areal ijin mereka. Namun ada pula yang dengan senang hati berupaya mengalihkan areal mereka kepada pihak lain dengan cara Ganti rugi alias menjual lahan atau areal kelola mereka kepada pihak lain, baik perorangan maupun Perusahaan.

Namun ada pula yang telah lama hidup dan berkembang di kawasan hutan sekian puluh tahun yang lalu sampai saat terbitnya P.83, dan memaksa mereka mengikuti aturan yang tertuang dalam P.83, bahkan bagi mereka P.83 merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup mereka.

Desakan Percepatan

Selain dasar hukum Perhutanan Sosial, pemerintahpun melihat bahwa untuk percepatan PS, maka di butuhkan " Kelompok Kerja (POKJA PPS )" di tiap-tiap propinsi untuk membantu percepatan akses Ijin bagi para pengusul ( masyarakat sekitar Hutan ). Pokja bahkan di harapkan " Jemput Bola " di kampung-kampung atau di desa-Desa yang masih memiliki kawasan Hutan " bahkan ada kesan pemaksaan bagi kelompok masyarakat untuk membuat kelompok "Dadakan" dari personil oknum Pokja dalam kejar-kejaran target Luasan areal Ijin skema PS.

Seringkali masyarakat di iming-iming bantuan Modal usaha jika mereka " Pura-pura serius " mengajukan Ijin PS dengan catatan harus melalui POKJA, dan bahkan harus melalui oknum tertentu yang datang berkunjung di Desa atau kampung mereka.

Fakta dan Realitas Lapangan

Bagi sebahagian masyarakat pengusul Ijin skema PS, menganggap sebagai kemurahan hati dari pemerintah untuk memberikan ruang hidup bagi mereka, namun sebahagian lagi menganggap sebagai tambahan beban bagi mereka, dimana mereka harus selalu hadir dalam pertemuan-pertemuan yang di gagas oleh para pegiat atau pendamping.

Mereka datang dipertemuan bahkan dengan sangat serius mendengarkan penyampaian-penyampaian dari para pembicara (Tim Sosialisasi ), mereka pun ikut tertawa, ikut tepuk tangan bahkan manggut-manggut pertanda seperti memahami apa yang disampaikan para pembicara di hadapan mereka. Mereka berlomba menandatangani daftar hadir peserta dengan harapan di akhir acara akan ada pengganti transport sekalipun rumah mereka mungkin hanya 10 langkah dari tempat Pertemuan.

Namun setelah acara pertemuan di tutup mereka saling bisik-bisik " Mana Amplopnya " jika ada maka mereka akan berupaya mengingat apa yang disampaikan oleh para pembicara PS, mereka menirukan apa yang disampaikan oleh para pemateri tadi, bahkan dengan sangat semangat berupaya menjabat tangan Tim hanya untuk sekedar memberi kesan serius untuk mengurus Ijin PS.

Para Pemateri pun Merasakan suasana seperti apa yang mereka harapkan sebelum pertemuan " Bahwa Masyarakat " sangat antusias dan peduli terhadap penyelamatan Hutan melalui Program Perhutanan Sosial.

Namun harapan itu tinggal harapan justru setelah pertemuan bubar biasanya akan ada diskusi-diskusi kecil di lingkup masyarakat yang hadir dalam pertemuan " mereka bahkan menertawakan pengakuan mereka di hadapan para Pemateri " Mengaku Serius ".....

Areal IJin PS yang telah Berhasil dalam peningkatan pendapatan

Hampir semua acara Workshop yang membahas PS sejak 2016-2018, hanya mampu menunjukan angka-angka jumlah Ijin dan luasan areal yang telah di terbitkan SK IUPnya, beberapa pihak memunculkan keberhasilan HKm masa lalu yang dilematis karena kayu hasil tanamannya tidak dapat di manfaatkan oleh masyarakat yang berujung pada upaya penjarahan oleh masyarakat pemegang Ijin itu sendiri.

Akan tetapi seringkali ada klaim Keberhasilan PS dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, namun ketika muncul pertanyaan dari peserta " Lokasi yang dimaksud " ternyata hampir tidak dapat di temukan di bumi Nusantara ini, namun sering di jawab dengan jawaban Politis " dengan proyeksi 5 tahun mendatang jika Rezim tidak berubah ".

Pertemuan Berkelanjutan

Program Perhutanan Sosial, memaksa para pihak untuk kembali mengulang pertemuan lagi secara berkelanjutan  di tempat yang sama dengan tema yang beda namun Isi tetaplah Sama dengan bumbu-bumbu manis dari para pemateri ' biasanya muncul Cerita sukses Pengelolaan PS dari tempat lain yang belumlah tentu peserta memahami Lokasi PS yang disampaikan pemateri.

Para peserta pun yang hadir selalu yang itu-itu saja, hadir sejak awal maka pasti hadir pada pertemuan selanjutnya, mereka terlanjur merasakan " isi Amplop " dari setiap pertemuan. Akan tetapi jika pertemuan itu tidak disediakan biaya transport, maka pasti pertemuan berikutnya pastilah muka-muka baru yang biasanya di mobilisasi oleh para pendamping di wilayah itu, dengan sedikit bumbu-bumbu manis harapan masa depan.

Kita tidak dapat pungkiri bahwa memang ada segelintir orang yang serius dan peduli, namun mereka biasanya Kritis dan banyak bertanya kepada para pemateri dan ini biasanya di anggap sebagai penghambat program, orang-orang kritis seperti ini biasanya tidak diharapkan kehadirannya di pertemuan berikutnya.

Para pegiat dan pemateri lebih suka dengan peserta yang adem-adem saja, datang tanpa komentar sampai pertemuan bubar.....

Inilah sekelumit realitas Implementasi PS pada tingkat Tapak...

" Belajar dari Masa Lalu untuk Merencanakan Masa Depan " bagi masyarakat sekitar kawasan Hutan.....




Dampak Isu PS yang salah Kapra, kawasan hutan Jati di babat habis...
http://ekonomiberbagi.com//